Wanita dalam Perspektif Masa Klasik Indonesia

Wanita dalam Perspektif Masa Klasik Indonesia

Masa klasik di Indonesia dimulai ketika diberitakannya sedekah 20.000 ekor sapi oleh Raja Mulawarman kepada kaum Brahmana pada prasasti Yupa. Ditemukannya Prasasti Yupa menandakan dimulainya masa klasik di Nusantara (Budiarto, dkk.). Peran wanita sebagai sosok yang mampu mengerjakan urusan domestik ditingkatkan lagi perananya. Peran sentral wanita dapat dilacak lebih jauh dalam konteks rumah tangga masa pra klasik. Aktivitas produksi gerabah, mengelola pekerjaan domestik, dan produksi manik-manik dapat dibuktikan denga temuan arkeologis yang berhasil ditemukan. Perkembangan masa klasik berkorelasi dengan berkembangnya sosok wanita yang semakin anggun dan berwibawa yang tercermin dalam seni pengarcaannya.

Pengaruh Hindu Buddha di Nusantara membawa sosok wanita ke dalam ruang yang lebih sakral. Sakralitas wanita dipersonifikasikan dalam bentuk ikon-ikon dewi yang dipuja oleh masyarakat Jawa Kuno. Dewi Durgamahesasurawardini merupakan dewi yang jamak dijumpai pada relung sisi utara pada badan candi berlanggam Hindu di Jawa Tengah. Keberadaannya pada relung candi Hindu di Jawa dikarenakan Durga merupakan sakti Dewa Siwa (Redig,2016). Dewi yang digambarkan dengan paras yang menawan dibekali berbagai macam senjata sakti para dewa merepresentasikan kedigdayaan wanita dalam melawan angkara murka yang diwakili oleh Mahesasura. Kisah Dewi Durga terdapat dalam naskah Devi Mahatnya yang masih bagian dari kitab Markandeyapurana. Dikisahkan para dewa memohon agar Dewa Siwa dan Dewa Wisnu mengalahkan Mahesasura sebagai pimpinan asura. Kesaktian Dewa Siwa dan Wisnu yang murka melahirkan sesosok Dewi. Para Dewa yang menyaksikan kelahiran Durga memberikan pinjaman berupa senjata mereka sebagai bekal Durga mengalahkan Mahesasura (Budiarto, dkk.). Pertempuran yang dilakoni oleh Durga berhasil membunuh Mahesasura dengan mudahnya (Redig, 2016). Peran Durga dapat direpresentasikan sebagai sebuah usaha unjuk gigi kaum wanita yang mampu bersaing dengan pria dan bahkan mampu melebihi kekuatan pria yang dianggap lebih kuat.

Pengarcaan Durga sebagai sesosok dewi yang mewakili sifat feminin dipadukan dengan berbagai senjata yang merepresentasikan sifat maskulin seolah-olah memiliki kontradiksi dari kedua sifat yang berbeda. Perbedaan ini mengisyarakatkan sesuatu bahwa peran wanita sebagai ibu juga dapat berganti meyesuaikan kebutuhan yang ada. Sifat wanita yang welas asih dipersonifikasikan sebagai Dewi Hariti dalam kepercayaan Buddha. Penggambaran Dewi Hariti terdapat pada Candi Mendut dan Candi Banyunibo. Dewi Hariti dianggap sebagai dewi pelindung anak-anak. Pengambaran Dewi Hariti biasanya disertai dengan beberapa anak-anak yang bermain di sekitar Dewi Hariti. Tak jarang Dewi Hariti juga dipuja oleh wanita yang ingin memiliki keturunan dikarenakan Dewi Hariti mewakili sifat kesuburan.

Sifat kesuburan, pengayom, dan kepahlawanan wanita termanifestasi dalam beberapa arca dewi masa klasik di Nusantara. Keberadaan arca tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa Kuno telah memandang tinggi wanita dengan segala kompleksitas tugas yang diembannya. Penggambaran arca dewi dapat dikatakan sebagai upaya menghormati peran perempuan pada masa itu.

 

Penulis: Rizky Ramadhani Satrio Wibisono

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak