Filosofi dalam Identitas Busana pada Tradisi Daur Hidup Mitoni

Filosofi dalam Identitas Busana pada Tradisi Daur Hidup Mitoni

Masyarakat Jawa telah mengenal sejak lama akan adanya siklus daur hidup, yakni dimulai dari sebuah kelahiran, pernikahan, dan kematian. Proses perjalanan hidup manusia yang kita kenal didalam konsep Sangkan Paraning Dumadi (asal mula kehidupan manusia dan tujuan manusia kembali) tersebut oleh Sri Sultah Hamengkubuwana I telah diwujudkan sejak tahun 1755 Masehi dalam bentuk tata rakiting wêwangunan atau tata ruang bangunan/kota Yogyakarta mulai dari Panggung Krapayk – Kraton dan Tugu Golong-Gilig (Pal Putih) – Karaton. Perjalanan manusia dimulai dari sebuah benih, kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, pernikahan, hingga proses perjalanan spiritual dalam mempersiapkan kematian telah disimbolkan dalam wujud bangunan, vegetasi, dan bangunan yang ada di kawasan Sumbu Filosofi tersebut. Disamping itu, tradisi daur hidup manusia juga telah lama disimbolkan dalam berbagai bentuk upacara seperti halnya mitoni, têdhak sitèn, têtak/têtêsan, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk dari upacara tersebut tidak hanya dilakukan dalam bentuk laku, melainkan dapat juga disimbolkan dalam bentuk motif kain, khususnya busana dalam tradisi mitoni.

Mitoni berasal dari kata pitu (tujuh), dapat dimaknai sebagai prosesi memperingati tujuh bulan usia janin di dalam kandungan sang Ibu. Pada proses mitoni, seorang Ibu tidak hanya diminta menjalani tahapan upacara seperti sungkeman, siraman, brojolan, akan tetapi juga diminta untuk mengenakan beberapa helain kain dengan latar motif batik sebanyak tujuh lembar kain. Pada prosesi tersebut, setiap kali sang calon Ibu mengenakan kain, maka akan ditanyakan kepada hadirin yang ada pada prosesi tersebut, apakah sudah layak atau pantas kain yang digunakan atau belum. Perlu diketahui, didalam prosesi ganti busana tersebut, para pinisepuh yang menyaksikan mengatakan ‘belum pantas’. Baru pada saat Wanita yang hamil memakai kain kemben yang ke-tujuh, para pinisepuh yang menyaksikan mengomentari ‘sudah pantas’ (Suwito, 2005: 45).

Prosesi ganti busana tersebut pada tiap-tiap kain yang dikenakan memiliki makna filosofinya masing-masing sesuai dengan motif dari masing-masing kain yang dikenakan. Busana atau kain yang digunakan memiliki identitasdan filosofinya masing-masing. Adapun ke-tujuh motif busana kain yang digunakan oleh seorang Ibu dalam prosesi mitoni yakni: 1) Motif Sidomukti, melambangkan kesejahteraan (mukti) yang akan dimiliki oleh sang jabang bayi; 2) Motif Wahyu Tumurun, memiliki makna bahwa sang Ibu dan kandungannya akan selalu mendapat anugerah tuntunan dari Tuhan; 3) Motif Sida Asih, melambangkan cinta kasih dalam keluarga; 4) Motif Sidadrajad, melambangkan seluruh anggota keluarga akan diangkan derajatnya; 5) Sidadadi, melambangkan harapan agar sang anak nantinya dapat menjadi orang yang sukses; 6) Motif Babon Angrem, melambangkan harapan agar proses persalinan yang akan dijalani dapat berjalan secara alamiah, dan; 7) Motif Tumbar Pecah, sebagai lambang dari proses persalinan yang lancar tanpa adanya halang rintang yang akan dihadapi oleh sang Ibu.

Tradisi daur hidup masyarakat Jawa dalam bentuk upacara mitoni telah berlangsung secara turun-temurun. Prosesi secara lahiriah yang dikhususkan bagi Ibu dan jabang bayi tersebut memiliki banyak makna dan filosofi yang terkandung dalam setiap bentuk laku dan ubarampe yang diperlukan, sehingga perlu adanya sebuah perhatian khusus bagi generasi muda untuk mengenal dan memahaminya.

Sumber Gambar: 

Dok. Ria Andamari

Penulis: D. Prasetyo Dwi Putranto

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak