Inspirasi dalam membuat sinema tidak pernah terlepas dari kehidupan dunia nyata. Cuplikan kejadian tersebut terkadang mengangkat kejadian istimewa yang tidak semua orang dapat mengalami. Umumnya pemisah kejadian tersebut karena faktor sosial, ekonomi, budaya, hingga kondisi alam tempat terjadinya. Salah satunya adalah keberadaan kisah kepahlawanan. Kisah kepahlawanan memiliki sensasi tersendiri karena tidak semua orang mampu merasakannya bahkan sekalipun dalam seumur hidupnya.
Setidaknya dalam lima tahun terakhir teramati kemunculan kisah kepahlawan seorang wanita. Mereka tidak digambarkan sebagai tokoh utama dalam film tersebut. Kemunculannya berbeda dari kisah biasanya yang menampilkan kepahlawan wanita secara utuh dan gamblang seperti R.A Kartini, Nyi Ageng Serang, atau Cut Nyak Dien. Garapan kali ini berbeda, dalam film Sultan Agung, Bumi Manusia, dan sinema kethoprak Beteng Rotterdam menggambarkan mereka sebagai seorang pendamping, pelayan, maupun pendidik dari orang-orang hebat yang pernah ada.
Film garapan Hanung Bramantyo yang rilis dalam tahun berdekatan yaitu Sultan Agung dan Bumi Manusia memiliki magnet penokohan perempuan tersendiri. Film Sultan Agung yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan Raja Mataram yang termahsyur itu, ternyata digarap baik dengan kemunculan tokoh Lembayung. Lembayung diketahui sebagai tokoh fiktif, teman wanita sepadepokan Sultan Agung saat di Jejeran sarat akan nilai-nilai. Pada masanya dia telah mampu menunjukkan eksistensi wanita dalam ikut serta berjuang membela Mataram. Walaupun keberanian berjuang tersebut tidak murni, tetapi muncul akibat naluri emosi rasa kehilangan kakaknya yang hilang sebagai tahanan perang. Setidaknya keteguhan, siasat, strategi perang, dan perannya memberi wacana kekuatan seorang wanita pada zamannya.
Berbeda dengan film Bumi Manusia yang digarap sangat romantis dengan kemunculan Nyai Ontosoroh atau Sanikem. Mungkin Si Nyai termasuk orang beruntung dari yang tidak beruntung. Sebagai jaminan kenaikan pangkat ayahnya, dia dikorbankan menjadi gundik bagi Herman Mellema seorang saudagar Belanda. Beruntungnya adalah Tuan Mellema mengajarkannya berbagai hal terkait ilmu pengetahuan khususnya perdagangan. Sehingga membuat Sanikem kecil menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas dalam memanajemen perusahaan milik Tuan Mellema, saat sang Tuan dihantam berbagai permasalahan. Keteguhan dan kecerdasan wanita pribumi semakin tampak saat adegan-adegan pembelaannya dipersidangan terkait status anaknya Annelis. Permainan hukum Belanda, agama, dan pribumi saat itu memberikan kesan diskriminasi bagi pribumi.
Sinema kethoprak Beteng Rotterdam yang disiarkan stasiun TVRI Jogja hingga 65 episode ini menceritakan masa kecil hingga dewasa Pangeran Diponegoro. Sela-sela perjuangannya terdapat berbagai tokoh wanita yang melingkari kekuasaan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Terkhusus pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono II kakek Pangeran Diponegoro yang merupakan seorang anak dari prajurit putri dan membentuk pasukan putri yang disebut Langenkusuma. Kemunculan Langenkusuma sebagai prajurit putri juga dilatarbelakangi ketidakpercayaan Sultan akan para pria. Prajurit Langenkusuma termasuk prajurit elit yang dilengkapi persenjataan lengkap, kompetensi berperang, hingga kemampuan intelijen dan siasat politik yang baik. Walaupun pada perkembangannya, pasukan perempuan ini tidak dilanjutkan pada masa pemerintahan selanjutnya karena kebijakan pelemahan pasukan prajurit oleh Belanda.
Para wanita yang selanjutnya disebut para ibu dalam ketiga film tersebut menunjukkan kekuatan mereka dalam pusaran politik walaupun hanya dibalik layar. Layaknya sinar bintang dikegelapan, kekuatan Ibu dalam mengendalikan situasi politik dengan mengarahkan para pemimpin pria menentukan kebijakan yang lebih berdasarkan naluri hati.
Sumber Foto: Instagram TVRI Yogyakarta
Penulis: Dias Oktri Raka Setiadi, S.Si