Wayang sulit dilepaskan dari kehidupan masyarakat Jawa. Mereka memandang wayang tidak sekadar kesenian yang menghibur penontonnya belaka. Namun, mampu menjadi pengisi hati dan menjadi instrumen kehidupan sehari-hari. Lakon-lakon yang dipagelarkan dalam pertunjukan pewayangan seringkali begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan memang diambil dari kehidupan riil di masyarakat. Masyarakat Jawa umumnya memandang dunia pewayangan sebagai simbol eksistensi manusia di alam ini. Berbagai karakter manusia disimbolkan dalam diri masing-masing tokoh pewayangan. Satu tokoh dengan karakter tertentu, disisi ada tokoh lainnya dengan karakter yang bertolak belakang atau bahkan dalam diri satu tokoh terdapat dua karakter yang berbeda bahkan lebih yang meneguhkan dualisme kehidupan dalam pewayangan.
Dualisme kehidupan dalam dunia pewayangan tergambar secara lebih lengkap dalam sebuah motif gunungan wayang. Gunungan wayang memegang peranan penting dalam tradisi pergelaran wayang kulit purwo di Jawa. Hal tersebut tidak lepas dari peran gunungan yang digunakan sebelum dan sesudah jalannya lakon pewayangan yang ditempatkan di depan tabir (kelir). Gunungan wayang menjadi simbol pembuka dan penutup pertunjukan pewayangan.
Secara riil gunungan wayang menggambarkan sebuah hutan lebat dan kehidupan di dalamnya. Benda ini disebut ‘gunungan’ yang berasal dari kata ‘pegunungan’ atau dikenal dengan istilah ‘kekayon’ yang berasal dari kata ‘kayu’. Kayu yang nantinya menjelma menjadi sebuah gunungan wayang dalam hal ini tidak lepas dari perjalanan kebudayaan yang silih berganti mengisi dan mewarnai Pulau Jawa. Mulanya, tradisi Hindu mengenal adanya pohon kalpataru sebagai pohon yang mampu mengabulkan semua keinginan manusia yang memujanya. Pohon tersebut dikenal secara baik melalui berbagai sumber Jawa kuno, misalnya berbagai prasasti, relief di candi-candi, dan berbagai manuskrip yang tersebar di Jawa.
Selain dalam tradisi Hindu, agama Budha mengenal pohon bodhi (sejenis kalpataru) sebagai pohon bersejarah yang tidak lepas dari ajaran agama ini. Sang Budha Gautama memperoleh wahyu atau ilham mengenai suatu agama yang kelak tersebar di berbagai penjuru dunia dan dikenal dengan ajaran Budha bermula dari bawah pohon tersebut. Selain dalam tradisi agama Hindu dan Budha, kebudayaan Islam-Jawa rupanya juga mengenal adanya ‘pohon hayat’ atau pohon kehidupan. Masyarakat Jawa menggambarkan pohon hayat dalam bentuk ‘gunungan’ yang merupakan bentuk lain dari kalpataru.
Baik pohon kalpataru, pohon bodhi, maupun pohon hayat dikenal sebagai pohon cukup lebat yang mampu memberikan perlindungan dan pengayoman bagi kehidupan di sekitarnya. Berbagai bunga dan buah digambarkan tumbuh subur berkat pengayoman pohon tersebut. Tidak hanya flora yang mendapatkan keuntungan atas keberadaan pohon tersebut, melainkan juga berbagai fauna memanfaatkannya sebagai tempat rindang untuk berteduh. Burung menjadi salah satu hewan yang cukup nyaman dengan keberadaan pohon tersebut. Banyaknya cabang baik besar maupun kecil dari pohon yang digambarkan dalam gunungan wayang tersebut dimanfaatkan oleh kawanan burung sebagai tempat saling bersiul. Selain burung, tidak sedikit berbagai jenis binatang lain juga memanfaatkan rindangnya pohon ini sebagai tempat berteduh di bawahnya.
Berbagai jenis binatang yang berada di kanan maupun kiri pepohonan di antaranya ada harimau, banteng, burung merak dan burung lainnya, serta kera. Selain gambaran dunia fauna dan flora, gunungan juga menyajikan lukisan bumi, gapura dengan dua raksasa yang membawa gada, udara, halilintar, dan aslinya memuat gambar seorang laki-laki dan perempuan. Di tengah rimbunnya pepohonan, terdapat banaspati yang termanifestasi dalam wajah raksasa dan di balik gunungan terdapat sunggingan yang menggambarkan sebuah api yang menyala.
Dua hewan yang cukup menonjol dalam gunungan wayang adalah harimau dan banteng. Sastroamidjojo (1964:203-226) memaknai harimau sebagai sifat kebuasan manusia yang dengan kekuatannya digunakan untuk menindas yang lain, sedangkan banteng dimaknai sebagai kekuatan manusia yang kadang kala muncul sebagai sifat kesombongan, cepat marah dan membabi buta dengan tanpa mempertimbangkan untung-rugi dari sikap yang ditimbulkannya. Makna dari dua hewan tersebut dipandang sebagai godaan, sehingga ketika manusia mampu mengatasinya maka ia akan mendapatkan surga dan mutiara kehidupan.
Jika ditafsirkan dengan semiotika post-strukturalis yang menyatakan bahwa makna selalu berbeda dan tertunda mengikuti penyematan konteks sesuai dengan ruang dan waktu, terdapat alasan untuk meletakkan simbol harimau yang berhadapan dengan banteng yang terdapat dalam gunungan dalam konteks konstelasi politik Jawa abad ke-18 hingga abad ke-20. Politik Jawa yang berputar dalam lingkungan kerajaan Mataram dan empat pecahannya pada periode tersebut tidak lepas dari campur tangan penjajah, khususnya Belanda. Saat raja-raja Jawa tidak bisa lagi dengan kuat menggempur kekuatan Belanda, mereka memainkan simbol perlawanan yang termanifestasi dalam tradisi rampogan. Tradisi tersebut digelar beberapa kali dalam setahun umumnya saat perayaan grebeg yang diadakan di dua ibu kota kerajaan pecahan Mataram, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Tradisi rampogan merupakan sebuah pertunjukkan duel antara seekor harimau dengan kerbau atau banteng. Harimau yang dikenal gesit, ganas namun cepat loyo merupakan simbol dari penjajah Belanda, sedangkan kerbau yang dikenal sebagai hewan lamban namun kuat dan mampu bertahan merupakan wakil dari masyarakat Jawa. Akhir dari pertunjukan ini senantiasa menempatkan kerbau sebagai pemenang atas harimau. Hewan terakhir senantiasa bernasib tragis saat kehabisan tenaga di akhir duel dan berusaha keluar dari arena pertarungan, ia siap dihadang oleh barisan prajurit kerajaan yang berdiri berjajar mengitari alun-alun sebagai tempat pertunjukkan dengan senjata tombak yang siap menghujam tubuhnya. Harimau akhirnya mati sebab kehabisan darah oleh luka-luka yang ditimbulkan oleh banyaknya tusukan tombak prajurit.
Sayangnya, pejabat kolonial yang silih berganti hadir dan diberikan suguhan rampogan dari waktu ke waktu belum mampu menangkap dan masuk dalam dunia simbolisme Jawa yang tersirat dari pertunjukkan tersebut. Barulah seorang Sir Thomas Stamford Raffles yang mampu menangkap pertunjukkan yang dianggapnya omong kosong itu.
Sumber Foto: bbbivt.org
Penulis: Akhlis Syamsal Qomar