Wayang adalah salah satu seni pertunjukan dari Indonesia yang tersohor. Hal ini diperkuat dengan status wayang yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi (Nurgiyantoro, 2011: 20). Wayang adalah kesenian tradisional Jawa yang diduga sudah ada sejak 1500 SM. Dahulu, wayang merupakan sarana untuk memuja leluhur yang disebut dahyang atau hyang (Awalin, 2018: 78?79). Sedangkan menurut Puspitasari (2008: 32), kata wayang berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu dari kata wod dan yang. Gabungan kata tersebut memiliki arti gerakan berkali-kali, maka wayang diartikan sebagai gambar bayangan yang bergerak (Anggoro, 2018: 125).
Wayang sendiri terdapat beragam jenisnya. Beragam jenis wayang di Indonesia dapat kita saksikan di Ruang Wayang Museum Sonobudoyo. Dilansir dari Thohari (2015), jumlah jenis wayang yang dikoleksi Museum Sonobudoyo mencapai tiga ribu. Beberapa contoh jenisnya adalah wayang kulit purwa, wayang golek, wayang wahyu, dan masih banyak lagi. Dalam pewayangan, Ramayana adalah salah satu epos terkenal selain Mahabarata yang sering ditampilkan (Nurgiyantoro, 2011: 19). Di Museum Sonobudoyo, koleksi wayang kulit purwa Ramayana dapat dilihat di Ruang Wayang Kulit. Bahkan, Museum Sonobudoyo kerap kali mengadakan pementasan wayang kulit Ramayana.
Dirangkum dari Santosa (2023: 71?74) dan Narayan (2009: 237), Ramayana merupakan epos dari India yang mengisahkan perjuangan Rama, pangeran Kerajaan Kosala dalam menyelamatkan istrinya, Shinta. Shinta diculik oleh raja Alengka, yakni Rahwana. Rahwana sangat mencintai mendiang istrinya yang bernama Widowati. Rahwana melihat Shinta sebagai titisan dari mendiang istrinya. Alasan itulah yang mendorong Rahwana untuk menculik Shinta. Dalam penyerbuan ke Alengka, Rama dibantu oleh Sugriwa, Hanuman, beserta ribuan pasukan kera lainnya. Rahwana sendiri sudah diperingatkan oleh Wibisana dan Kumbakarna supaya menyerahkan Shinta kepada Rama. Rahwana menolaknya mentah-mentah dan malah mengusir Wibisana. Wibisana akhirnya bergabung dengan pasukan Rama. Pertempuran besar antara Rama dan Rahwana berhasil dimenangkan oleh Rama. Rahwana sendiri mati di tangan Rama. Pada akhirnya, Rama dapat bertemu kembali dengan Shinta. Namun, Rama malah meragukan kesucian Shinta. Kesucian Shinta terbukti setelah ia membakar dirinya dan berhasil selamat dari lahapan api. Rama pun menerima Shinta dan mereka kembali ke Kerajaan Kosala.
Pertunjukan wayang bukanlah sebatas hiburan saja, melainkan juga sarana pembelajaran. Dari cerita-cerita wayang, banyak amanat yang dapat kita petik dan kita terapkan di kehidupan. Hal ini juga berlaku dengan kisah Ramayana. Dalam cerita Ramayana, penokohannya terbagi menjadi protagonis dan antagonis. Siapa pun yang berada di pihak Rama adalah tokoh protagonis. Sebaliknya, siapa pun yang berada di pihak Rahwana adalah tokoh antagonis. Namun, apakah tokoh protagonis tindakannya selalu terpuji dan dapat diteladani? Lalu, apakah tokoh antagonis selalu amoral dan tidak punya hati nurani?
Untuk menjawabnya, maka akan didalami watak tokoh-tokoh Ramayana. Rama adalah tokoh utama dalam kisah Ramayana. Ia digambarkan sebagai ksatria pemberani yang rela berjuang demi istrinya. Namun, apakah rasa cinta Rama kepada Shinta tulus adanya? Nyatanya setelah Rama dan Shinta bertemu, Rama malah menuduh kalau Shinta sudah disentuh oleh Rahwana. Pembuktian Shinta tidak main-main, ia rela dibakar hidup-hidup untuk membuktikan kesuciannya. Barulah setelah Shinta terbukti masih suci, Rama bersedia menerima Shinta kembali. Sikap Rama ini sungguh tidak mencerminkan seseorang yang tulus mencintai kekasihnya. Ia malah merendahkan perempuan yang dicintainya.
Di sisi lain, Rahwana dipandang sebagai raksasa yang bengis, angkuh, dan keras kepala. Namun, Rahwana yang menculik Shinta justru memperlakukan Shinta bak permaisuri. Di Alengka, Shinta ditempatkan di Taman Argasoka yang indah nan megah. Setiap kali Rahwana mengunjungi Shinta, ia selalu melantunkan puisi cinta, meskipun Shinta tetap diam saja (Shelomita, 2020). Bagi Rahwana, tidak penting apakah Shinta cantik atau tidak, suci atau tidak. Kendati cinta Rahwana kepada Shinta begitu besar dan tulus, menahan istri orang lain secara paksa bukanlah tindakan yang mencerminkan penghargaan terhadap orang yang dicintai.
Dualisme moral pun terjadi pada adik-adik Rahwana, yakni Kumbakarna dan Wibisana. Keduanya memang sama-sama tidak menyetujui perbuatan Rahwana, akan tetapi keduanya mengambil jalan yang berbeda. Jalan yang ditempuh Kumbakarna mencerminkan sikap bela negara yang sejati. Dikutip dari Ditjen Sejarah dan Purbakala (2008: 23), Kumbakarna pernah berkata, “saya tidak membela sikap kakak saya. Saya ikut berperang karena saya tidak sudi tanah air saya diusik dan diporak-porandakan oleh musuh”. Sedangkan Wibisana memilih untuk membelot ke pihak Rama yang menurutnya berada di pihak yang benar. Tidak hanya itu, ia juga membocorkan rahasia Kerajaan Alengka (Narayan, 2009: 243). Tindakan Wibisana dapat dipandang sebagai tindakan yang berani menjunjung tinggi kebenaran. Namun, tindakannya juga dapat dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap saudara dan negaranya sendiri.
Dari sini kita belajar bahwa hidup tidak sekadar hitam dan putih, tetapi dapat berupa gabungan keduanya, yaitu abu-abu. Tokoh wayang Ramayana terlalu kompleks untuk sekadar dikotak-kotakkan ke dalam benar atau salah saja. Kita tidak dapat menghakimi sifat mereka hanya dari satu sisi. Rasa simpati terhadap suatu tokoh bisa saja muncul, tetapi itu tidak membenarkan perbuatan salah mereka. Memang banyak penafsiran mengenai watak tokoh-tokoh Ramayana. Bijaknya, sebagai penonton wayang adalah meneladani perbuatan yang terpuji serta menjauhi perbuatan yang tercela dari tokoh mana pun.
Sumber Foto: indonesia.go.id
Penulis: Astari Syahputri Anaf