Wayang Wahyu, Wujud Inkulturasi dalam Budaya Jawa

Wayang Wahyu, Wujud Inkulturasi dalam Budaya Jawa

Masuknya agama Katolik ke Nusantara telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Perjumpaan antara ajaran atau nilai-nilai Katolik dengan kebudayaan masyarakat lokal memunculkan sebuah ketimpangan budaya. Sehingga, di kemudian hari muncul desakan untuk dilakukannya inkulturasi sebagai bentuk adaptasi terhadap kebudayaan setempat. Salah satu bentuk inkulturasi dalam kebudayaan Jawa ialah wayang wahyu.

Wayang wahyu merupakan salah satu wayang kulit yang pembentukannya diprakarsai oleh Bruder Timoteus L. Wignyosoebroto FIC dan dipentaskan pertama kali secara perdana pada tahun 1960-an di Gedung SKKP Susteran Purbayan Solo. Latar belakang cerita dalam pergelaran wayang tersebut bersumber dari Alkitab. Total lakon yang dikreasikan berjumlah sekitar 225 tokoh, meliputi tokoh pria dan wanita yang hadir dalam kisah-kisah perjanjian lama maupun perjanjian baru. Uniknya, Museum Sonobudoyo memiliki koleksi wayang wahyu yang berbeda dengan Museum Radya Pustaka. Pada Museum Sonobudoyo, dapat ditemukan satu set wayang wahyu yang terdiri dari: (1) Bunda Maria, (2) Yusuf, (3) Kandang kambing, (4) Bayi Yesus, (5) Malaikat, dan (6) Raja Baltasar yang mana satu set tersebut bercerita tentang kelahiran Yesus Kristus. Sedangkan, dalam etalase Museum Radya Pustaka hanya terdapat satu tokoh yakni Malaikat di samping jenis wayang-wayang lain.

Sejatinya, tujuan dari dikreasikannya wayang ini ialah tidak hanya sekedar membuat suatu kebaharuan dalam kesenian wayang. Melainkan lewat wayang wahyu coba dikenalkan  kepada masyarakat Jawa mengenai sosok Yesus Kristus dan berbagai tokoh lainnya yang menjadi sumber iman umat kristiani. Dengan kata lain, kemunculan wayang wahyu merupakan salah satu bentuk kebutuhan Gereja untuk menggunakan media baru dalam mewartakan firman-firman Tuhan. Alasan dibalik dipilihnya wayang sebagai sebuah media pewartaan ialah karena wayang purwa telah terbukti efektif dalam menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu, wayang wahyu dikreasikan seperti wayang purwa untuk keperluan penyebaran agama Katolik.

Akhirnya, wayang wahyu menjadi salah satu bukti diantara sekian banyak lainnya mengenai adanya keterbukaan masyarakat Jawa terhadap pelbagai agama yang masuk di Nusantara. Wayang sebagai sebuah kesenian bersifat fleksibel terhadap segala perubahan kebudayaan yang masuk bersamaan dengan penyebaran agama-agama tertentu. Hal tersebut   perlu diapresiasi sebagai bagian dari kebudayaan bangsa yang dapat terus-menerus berkembang dan berubah menyesuaikan kebutuhan zaman. Dengan demikian, keberhasilan proses inkulturasi pada wayang wahyu menandakan suatu bentuk keharmonisan antara agama dengan budaya dalam hal saling berbagi peran di dalamnya.

 

Penulis: Caroulus Edra Aptana

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak