Museum dan Kolonialisme
Oleh: Sony Saifuddin
Kemajuan Teknologi sebagai Penggerak
Sekitar abad ke 12 hingga 15 Masehi, Eropa mengalami kemunduran dalam banyak hal. Pencerahan yang bernama renaissance kemudian mendorong kemajuan teknologi dan kebudayan mereka. Tahun 1700an di kota-kota besar Eropa saat itu, seperti, London, Amsterdam, Leyden, dan Paris terjadi perubahan cara pandang manusia terhadap dunia, yang mengubah secara fundamental bagi jalannya peradaban manusia ke depan. Fenomena ini kemudian membuat banyak orang tertarik dengan seluk-beluk kehidupan alam dan dunia bendawi di sekitar mereka. Gejalanya ketertarikan tersebut ditemui hampir di semua kalangan, baik oleh penguasa saat itu, seperti Gubernur dan Raja, pendeta, bangsawan, tuan tanah, atau pedagang seiring dengan pengalihan tugas-tugas kerja seperti pemrosesan makanan, pembuatan tekstil, dan pekerjaan kayu dan besi kepada kaum pekerja atau buruh (Pearce, 2010).
Kemajuan teknologi transportasi dengan ditemukannya mesin uap telah memicu pergerakan pelayaran ke seluruh penjuru dunia untuk menemukan sumber-sumber komoditas perdagangan baru. Pelayaran tersebut tidak bertujuan untuk berdagang semata, tetapi juga punya tujuan lain berupa politik kolonialisme. Kolonialisme mencirikan dominasi internal suatu kelompok atas kelompok yang lain. Dominasinya mencakup kebudayaan, ideologi, sistem nilai, dan lain sebagainya (Vonk, 2013). Para pedagang, pegawai pemerintah jajahan, dan para peneliti sering membawa pulang ke Eropa berbagai macam benda kebudayaan berupa senjata-senjata tradisional, benda seni dan kerajinan dari wilayah yang disinggahi atau kuasai. Pun juga tulang-tulang tengkorak manusia dari berbagai ras yang ada di muka bumi tak luput dari perhatian mereka untuk diangkut ke Eropa. Benda-benda tersebut kemudian dikenal dengan benda etnografi yang pada awalnya dikumpulkan gedung-gedung istana atau rumah para bangsawan dan saudagar sebagai koleksi benda-benda yang dianggap aneh oleh orang-orang Eropa kala itu (Koentjaraningrat, 1987).
Munculnya Pameran-Pameran
Makin hari semakin banyak benda yang terkumpul dan tersimpan. Hal tersebut mendorong mereka untuk memamerkan benda-benda etnografi yang terkumpul. Pada akhir abad 18 pengetahuan mengenai benda-benda etnografi menjadi makin populer di antara orang-orang kaya Eropa. Hal ini memunculkan ide untuk mengorganisasi museum-museum etnografi yang pertama. Pada paruh kedua abad 19 merupakan tahun-tahun yang penuh dengan pameran industri di kota-kota besar di kawasan Atlantik Utara. Mulai dari pameran yang bertajuk Great International Exposition di Crystal Palace, London tahun 1851, sampai pada pameran New York’s “Crystal Palace” Fair tahun 1853 yang kemudian bergulir secara bergantian selama hampir tujuh dekade. Tahun 1867 Louis Napoleon menyelenggarakan Pameran Paris (Paris Exposition) dengan maksud untuk menunjukkan kepada dunia tentang stabilitas dalam negeri selama masa pemerintahannya. Benda-benda koleksi Louis XIV di Paris, Perancis dipamerkan untuk menunjukkan bagaimana tatanan dunia di bawah kekuasaan dinasti Bourbon. Demikian juga yang dilakukan di Inggris, diadakan pameran benda-benda seni secara temporer untuk tujuan politis guna menunjukkan kekuatan pemerintahan Tudor. Lewat pameran ini benda-benda diberi makna baru sebagai lambang kedigdayaan penguasa (Yamaguchi, 1991).
Pameran tersebut dalam konsep dan konstruksinya, dianggap sebagai bagian dari imperialisme awal atau klasik. Benda yang dipamerkan didominasi bahan-bahan mentah untuk industri. Pameran juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan yang menjelma menjadi kerajaan bisnis yang bergerak dalam bidang manufaktur yang bahan bakunya diperoleh dari wilayah koloni mereka. Sebagai sebuah fenomena, pameran industri ibarat pesta perayaan penguasaan bangsa yang beradab (Barat) atas sumber daya alam dan bangsa yang dianggap terbelakang atau primitif (Hinsley, 1991).
Orang-orang Eropa pada saat itu merasa tidak cukup hanya dengan mengambil dan memamerkan benda-benda budaya, sehingga mereka memboyong manusianya langsung ke Eropa dari negeri asalnya. Mereka dipertontonkan untuk memuaskan rasa keingintahuan mereka tentang dunia lain di luar Eropa. Pameran pertama di New York tahun 1853, bertemakan “Machinery”. Isi pamerannya terkait dengan seluk-beluk permesinan, terutama untuk memperkenalkan mesin jahit. Namun dalam pelaksanaannya ditampilkan pula manusia-manusia pelaku budaya. Di antara yang ditampilkan dalam pameran adalah seorang penari misterius yang dijuluki Lady in Red, kemudian manusia liar dari Borneo (Wild Man of Borneo), manusia kanibal dari Fiji, serta tenda yang menampung tiga ratus orang yang berasal dari lima puluh suku-suku Indian. Pameran itu digambarkan sebagai bentuk perpaduan antara rasa ingin tahu yang mendalam dan ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan, antara ruang mengerikan dan ruang pamer medis, antara pertunjukan sirkus dan kebun binatang, antara pertunjukan teater dan display etnografi yang hidup dan nyata. Pameran-pameran semacam itu ditentang oleh orang-orang protestan konservatif yang memaksa mereka untuk memindahkan tempat display pamerannya dari teater atau tempat pertunjukan ke dalam museum (Kirshenblatt-Gimblett, 1991).
Praktik untuk mengirimkan misi ke wilayah terpencil untuk membawa kembali komunitas-komunitas yang dianggap eksotis untuk dipamerkan kepada publik Eropa marak di era 1870an. Seperti yang dilakukan oleh pelatih hewan dan ahli kebun binatang dari Hamburg bernama Carl Hagenbeck. Sekitar tahun 1876, Hagenbeck mengirim koleganya yang bernama Johan Adrian Jacobsen untuk mencari dan membawa koleksi artefak dan enam orang Eskimo dari Greenland ke Hamburg. Kemudian misi serupa dilaksanakan sampai akhirnya terjadi tragedi di mana seluruh anggota dalam misi tersebut meninggal akibat cacar yang menurunkan semangat Hagenbeck untuk memamerkan orang-orang dari suku terpencil. Dua tahun kemudian usaha tersebut dimulai lagi dan berhasil menggelar pameran di dua puluh tujuh kota selama sebelas bulan tour yang melibatkan sekitar dua ribu artefak (Hinsley, 1991).
Memamerkan koleksi etnografi menjadi kegiatan yang umum dilakukan pada abad 19 di Eropa. Salah satu acara yang cukup fenomenal adalah World Fair. Materi etnografi yang ditampilkan dalam World Fair berasal dari masyarakat negara-negara yang dijajah oleh negara-negara Eropa (Hinsley, 1991). Pameran ini diakui sebagai pameran yang terbesar dan paling kompleks dalam konteks program-program acaranya. Pameran berfungsi sebagai laboratorium arsitektur, pusat penelitian lapangan antropologi, taman yang bertemakan “kebudayaan awal”, penggerak konsumerisme, mengembangkan nasionalisme, dan tempat untuk merekonstruksi masa depan yang diimpikan oleh pandangan kolonialisme. World Fair juga berkontribusi dalam pengembangan museum, di mana benda-benda yang ditampilkan dalam World Fair kemudian banyak yang dikirim ke museum demi menghemat biaya pengiriman kembali ke negara asal benda tersebut (Rydell, 2006).
Budaya sebagai Komoditas
Hal yang menarik disampaikan oleh Hinsley (1991) bahwa sebenarnya pameran yang menampilkan segala macam bentuk etnografi tersebut pada dasarnya menunjukkan kekuatan uang dalam membentuk hubungan antara manusia. Disampaikannya bahwa Pameran di Columbia (The Columbian Exposition) merupakan perayaan untuk menciptakan pasar. Perdagangan dan pertukaran mengandung suatu janji untuk dapat memecahkan masalah perbedaan di antara umat manusia. Proses komersialisasi beranggapan bahwa pada dasarnya segala hal dapat dijual dan setiap orang mempunyai harga, dengan kata lain dunia dapat dilihat sebagai uang (Hinsley, 1991).
Kemajuan teknologi transportasi yang digunakan dalam perdagangan seperti kapal uap dan kereta api, pada dasarnya merupakan simbol dari pergerakan barang, jasa, dan manusia. Pergerakan utamanya didorong oleh kolonialisme yang berlayar dari pusat (Eropa) ke daerah periferal (jajahan) dan kemudian kembali lagi ke Eropa. Maka tidak mengherankan jika masyarakat di daerah jajahan menjadi pasar yang menarik. Dengan kata lain, ketertarikan utama orang Eropa terhadap masyarakat asing di wilayah jajahannya bukan disebabkan oleh keindahan budayanya tetapi lebih pada faktor ekonomi yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan material dan finansial bagi kolonial (Hinsley, 1991).
Sebagai institusi sosial dan budaya, museum berperan dalam mengemas pengetahuan melalui pameran. Museum mengoleksi obyek, memilih topik, dan membangun wacana lewat kegiatan pameran. Dengan begitu, museum bukan hanya mementaskan kebudayaan tetapi memegang otoritas yang besar dalam ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, museum memiliki kekuatan untuk membentuk ideologi dan keyakinan masyarakat tentang sesuatu yang dianggap benar melalui pameran mereka (Dai-Rong, 2006). Museum berkontribusi dalam pembangunan dan penyebaran budaya kekuasaan kolonial kepada masyarakat abad 19. Sebagai alat kolonialisme, museum memamerkan mimpi-mimpi kolonial untuk mengontrol dan mengatur masyarakat melalui eksplorasi, pengumpulan, dan pengklasifikasian yang lebih detail terhadap alam dan budaya yang ada di dunia (Legene, 2012).
Kepustakaan
Dai-Rong, Wu. 2006. Cultural Hegemony in The Museum World. Conference Paper.
Hinsley, Curtis. M. 1991. “The World as Marketplace: Commodification of the Exotic at the World?s Columbian Exposition, Chicago, 1893” dalam Ivan Karp dan Steven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.
Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1991. “Objects of Ethnography” dalam Ivan Karp dan Steven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.
Kontjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Legene, Susan. 2012. “Powerful Ideas Museums, Empire Utopias and Connected World” Dalam ICMAH – COMCOL Annual Conference. South Africa.
Pearce, Susan. 2010. “The Collecting Process and The Founding of Museums in The Sixteenth, Seventeenth, and Eighteenth Centuries” dalam Susanna Pettersson (ed). Encouraging Collections Mobility – A Way Forward for Museums in Europe. Helsinki: Finnish National Gallery
Rydell, Robert W. 2006. “World Fairs and Museum” dalam Sharon Macdonald (ed). A Companion to Museum Studies, Oxford: Blackwell Publishing.
Yamaguchi, Masao. 1991. “The Poetics of Exhibition in Japanese Culture” dalam Ivan Karp dan Steven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.