Menangkap Dinamika Gender dalam Kisah Kelana Sang Panji

Menangkap Dinamika Gender dalam Kisah Kelana Sang Panji

Struktur sosial patriarki dan feodalisme yang telah mengakar kuat dalam mozaik pemikiran Jawa seolah menciptakan jarak yang memisahkan kebudayaan tersebut dengan arus modernisme yang turut diwakili oleh kesetaraan gender. Dominasi kaum Adam dalam kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat diterima oleh aktivis pendukung gerakan baru tersebut–lazim disebut feminist–yang percaya bahwa pria dan wanita memiliki hak, dan mungkin juga kewajiban, yang setara. Namun, melalui penelusuran lebih dalam menembus bilik-bilik artefak kebudayaan Jawa, kita sejatinya dapat menemukan sebuah jembatan yang mampu menjadi penghubung dua dunia yang terasa berbeda itu. 

Panji Asmara Bangun, seorang pangeran yang ditakdirkan menjadi penguasa kerajaanya, berdiri di pusat sebuah epos yang menjadi karya adiluhung Nusantara, menyaingi kemegahan saga Ramayana dan Bharatayudha yang berasal dari India. Kepopuleran Cerita Panji bahkan mampu mendorong berkembangnya berbagai varian mengenai rincian kisah tersebut di seantero Asia Tenggara. Selain Indonesia, tak kurang dari Thailand, Malaysia, dan Filipina, yang turut memiliki versi Panji-nya masing-masing. Di Indonesia sendiri, kisah Panji telah diadaptasi dalam berbagai bentuk wujud budaya, mulai dari naskah, drama, seni topeng, tarian, hingga lagu dan buku anak-anak.

Inti cerita Panji memuat tutur mengenai proses bersatunya Panji Asmara Bangun alias Raden Inu Kertapati dengan kekasihnya Dewi Candra Kirana. Pertautan dua insan yang saling jatuh cinta dalam naungan pernikahan ini sejatinya telah direstui oleh orang tua mereka dan diharapkan dapat membuka jalan terhadap penyatuan kerajaan keduanya, Jenggala dan Kediri. Namun, kisah indah tersebut tak selancar yang dikira. Dewi Candra Kirana diusir dari istana oleh ayahnya akibat fitnah keji dari saudarinya, Galuh Sekar.

 Panji yang haqqul yakin bahwa kekasihnya tidak bersalah pun memulai pengembaraannya mencari sang pujaan hati ke seantero negeri. Di sisi lain, Candra Kirana memilih untuk membaur dalam masyarakat dengan menyamar sebagai Panji Semirang, seorang perampok yang gemar melantunkan tembang Wargo Asmoro, suluk kerinduan yang menggambarkan perasaan Candra Kirana yang harus terpisah dari kekasihnya. Dalam Suluk Malang Sumirang, Panji juga digambarkan turut menyamar dalam petualangannya sebagai seorang dalang jalanan.

Transformasi Candra Kirana dari seorang putri kerajaan menjadi sesosok berandal yang dianggap sering mengganggu ketenteraman masyarakat memberikan gambaran mengenai sekat-sekat sosial-budaya yang masih dapat diterobos oleh kawula perempuan dalam rumah kebudayaan Jawa yang selama ini dianggap terlalu berpatron pada laki-laki. Dunia kriminal yang senantiasa diidentikkan dengan kaum adam karena berkaitan dengan aktivitas berbahaya dan melawan hukum nyatanya masih dapat menampung keberadaan Candra Kirana yang ingin menyembunyikan diri dari kehidupan elit istana. Namun, tetap diperlukan adanya kompromi yang dapat memungkinkan Candra Kirana menyeberangi pembatas yang memisahkan “dunia” laki-laki dan perempuan tersebut.

Praktik cross-gender menjadi jalan yang dipilih oleh sang putri. Dengan “mengubah” dirinya menjadi seorang lelaki, ia berharap dapat diterima oleh komunitas kriminal yang didominasi oleh kaum pria dan jarang memberikan tempat kepada populasi wanita. Melalui penyamaran itu ia juga berharap dapat menghindari persentuhan dengan kalangan istana yang telah mengusirnya. Upayanya ini membuahkan hasil tatkala proses integrasinya dengan rekan-rekan perampoknya berjalan lancar tanpa mereka mempertanyakan latar belakang kehidupannya sebelum bergabung dengan mereka.

Meski begitu, Candra Kirana tetap menunjukkan jejak kehidupan terdahulunya sebagai seorang wanita bangsawan yang merindukan kekasih tercinta. Kegemarannya menyanyikan tembang Wargo Asmoro menjadi penanda bahwa ia masih belum terlepas sepenuhnya dari kehidupan lampaunya, khususnya terkait dengan perjodohannya dengan Panji Asmara Bangun. Ia masih berharap bahwa suatu saat nanti terjadi perputaran roda nasib yang kembali menyatukan dia dengan tambatan hatinya itu.

Di sisi lain, Panji Asmara Bangun juga menempuh jalur penyamaran untuk melancarkan misi pencariannya atas Dewi Candra Kirana. Ia memilih menanggalkan status kepangeranannya dan menceburkan diri dalam kehidupan jelata dengan memainkan peran sebagai seorang dalang keliling. Opsi tersebut dipilih karena memungkinkan ia untuk mencari kekasihnya ke pelosok negeri. Selain itu, sosok dalang dalam budaya Jawa hampir selalu diperankan oleh laki-laki. Oleh karena itu, Panji yang merupakan seorang lelaki juga telah memenuhi syarat untuk mengambil peran tersebut tanpa perlu melakukan praktik cross-gender seperti yang ditunaikan oleh kekasihnya Candra Kirana.

Impresi mengenai pergumulan dua tokoh yang memilih mencerabut diri dari latar sosialnya ini dapat dilacak pada koleksi topeng wayang Panji milik Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Topeng Panji dan Candra Kirana tersebut memperlihatkan kesederhanaan seorang jelata yang minim ornamentasi dan hiasan dipadukan dengan sedikit goresan berwarna emas yang menjadi ciri golongan ningrat. Topeng Candra Kirana juga mengombinasikan alis lentik khas wanita dan kesan keteguhan serta ketegasan seorang pria. 

Dialektika mengenai peran sosial yang diisi oleh gender tertentu nyatanya telah menjadi isu yang berkembang dalam kurun waktu yang panjang. Kemunculan gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan hak–dan mungkin juga kewajiban–sosial antara dua gender utama menjadi titik kulminasi dari pergulatan yang sudah berlangsung sekian lama. Melalui kesenian Panji, budaya Jawa yang selama ini banyak dianggap mengambil peran antagonis terkait kesetaraan gender pun ingin berkata bahwa kesadaran akan wacana tersebut juga telah lama berkembang dalam diri mereka.

 

Penulis: Muhammad Azzam Al Haq

Komentar

Artikel Terkait

Lebih Banyak